Masihkah Ada Rasa Malu Di Tubuh Aktivis Islam?
Di bawah langit Gorontalo, panas matahari menembus awan-awan. Suhu di siang hari itu mencapai 33°C, matahari menjadi teman akrab bagi para pengguna jalan. Hari itu, di perempatan lampu merah, dalam antrian 30 detik berganti hijau saya tak sengaja mendengar pembicaraan penjual makanan yang sering mangkal di lokasi lampu merah dengan pengndera motor. Para pedagang ini akan menawarkan jualan mereka.
“Lebihnya diambil saja,” kata pengendara roda dua. Wajahnya terlihat tulus memberi.
Saya begitu senang menyaksikan hal-hal baik yang melintasi di hadapan mata, setidaknya itu bisa melembutkankan hati: bahwa di dunia ini orang-orang baik masih banyak. 15 detik dalam antrian, saya kembali menyaksikan pelajaran kedua di perempatan jalan itu.
“Bapak, ini kembaliannya, terima kasih banyak tapi saya sedang berdagang, insyaallah harga dagangan saya cukup untuk hari ini.” dengan senyum begitu merekah, penjual mengembalikan sisanya.
Sikap penjual jujur dan tegas terhadap prinsipnya, mengingatkan saya pada buku 'Ghirah dan tantangan terhadap Islam' (1985), milik Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang dikenal oleh umat Islam bernama Buya Hamka. “Kesadaran harga diri,” itulah yang coba dilukiskan oleh si penjual di lampu merah.
Dalam buku yang sama, Buya Hamka menuturkan, “Menurut pendapat saya sebagai bangsa Indonesia yang merdeka, kite mesti mempunyai harga diri. Harga diri menurut ajaran Islam ialah kebebasan pribadi, kemerdekaan sebagai bangsa, tidak ada tempat melainkan takut kepada Allah, tidak ada yang kuat, dan tidak ada yang kuasa di dunia ini kalau tidak dengan izin Allah.”
Harga diri yang dilukiskan oleh penjual dalam cerita di atas, berada di jalan kebebasan pribadi; ia mengambil hak-haknya yang diberikan oleh pembeli, dan mengembalikan sisa uang yang diberikan pembeli dengan niat 'sedekah'. Harga diri dalam Islam bukan berarti mengabaikan perhitungan kondisi kebutuhan, lebih dari itu harga diri dalam Islam menjelaskan tentang rasa cukup.
Kalaulah seorang penjual di perempatan lampu merah sangat menjaga 'harga diri'-nya, bagaimana kondisi para aktivis Islam hari ini tatkala diperhadapkan dalam belenggu kekuasaan. Kehormatan permainkan demi mengabdi pada kekuasaan yang merampas rasa malu mengatasnamakan iman. Bolak-balik bertemu, dijamu, dan berbincang dengan kekuasaan, tanpa sadar para aktivis Islam mulai larut dalam muslihat kekuasaan yang merugikan umat.
'sebelum menjadi apa pun, kita adalah da'i' ini adalah slogan yang begitu melekat di tubuh aktivis Islam. Sebagai da'i yang mewarisi kerja-kerja para Nabi pentingnya menyadari status dan kedudukan misi para aktivis Islam. Dari sinilah 'harga diri' sebagai aktivis Islam haruslah melekat di dalam dada para da'i, dibaca: aktivis Islam.
Buya Hamka, dalam hari-hari yang lampau, telah memperingati sebelum kita bertemu dengan musim berpenampilan islamis pada kalangan-kalangan yang berniat merebut hati umat Islam dalam satu ajang pemilihan jabatan publik. Buya Hamka menuliskan, “Kalau harga diri sudah tak ada, niscaya kita akan dijajah orang kembali, bukan saja penjajahan dari bangsa asing, bahkan daripada golongan kuat kepada yang lemah, daripada golongan yang merasa dirinya berkuasa kepada golongan yang tidak mempunyai kuasa apa-apa, selain dari keadilan sejati dan kebenaran sejati.”
Menjaga harga diri sebagai seorang muslim merupakan perkara mulia di sisi Allah. Yang bahkan seorang penjual di lampu merah pun melukiskan sikap harga diri itu: betapa rezeki telah ditetapkan, rasa cukup sudah dimiliki, dan rasa harga diri perlu dijaga.
Sungguh apabila aktivis Islam hari ini begitu terpukau dalam tawaran-tawaran kekuasaan. Lemah jika harus 'berdikari'. Lupa untuk mengamati amanat umatnya yang sekian bertahun-tahun terakhir ini diimpit derita dan nestapa akibat kekuasaan tidak amanah dalam bekerja.
Andai keadaan ini terus berlanjut, maka tak usah kita marah ketika umat bertanya: masihkah ada rasa malu di tubuh aktivis Islam hari ini?
📝Sanjun, yang menulis dari bawah langit Gorontalo.
Bagaimana jika kita berteman di:
Instagram: @sanjuun_