Dari Manakah KAMMI Mendapat Sumber Kekuatannya Untuk Bisa Terus Bergerak?
Dalam cuaca yang berubah-ubah, saat memasuki Juli sampai Desember, udara akan akrab dengan angin laut. Saat matahari berada sejajar dengan atas kepala manusia, dari dataran tinggi saya melihat ke arah kapal-kapal nelayan sembari membuka catatan-catatan lama milik Buya Hamka, yang pertama kali terbit tahun 1961.
Dalam penyatuan-penyatuan gagasan Buya Hamka, saya kembali menghadirkan gerakan mahasiswa yang berasaskan Islam, KAMMI namanya. Gerakan yang mungkin kalaulah Buya Hamka masih hidup, pastilah akan lebih banyak mendatangi beliau berdiskusi soal kombinasi gerakan Islam, pemuda, dan tawaran perjuangan untuk Indonesia.
Di 26 tahun KAMMI, sebenarnya dari manakah sumber kekuatan KAMMI? Apakah dari proposal kegiatan? Dari donasi alumni? Atau dari perjanjian transaksional yang tertutup?
Angin laut begitu setia menemani pertanyaan-pertanyaan saya kepada anak remaja bernama KAMMI. Pertanyaannya ini harusnya tuntas dijawab di tubuh KAMMI, sebab jika anak remaja salah mengambil sumber kekuatannya, cerita akan menjadi hampa. Atau, bisa saja kehilangan jati diri.
Kekuatan dan sumber kekuatan penting bagi gerakan kemahasiswaan, kepemudaan, dan kemasyarakatan, karena ia akan menjawab masalah krisis yang berlarut. Panjangnya waktu krisis yang berlarut-larut akan mengakibatkan daya tahan biasanya pendek atau habis seiring berjalannya waktu. Yang mampu membuat orang-orang bertahan adalah menyandarkan sumber energi dari tempat yang tak terbatas. Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
“Dan bertakwalah kepada Allah yang hidup, yang tidak mati, dan bertasbihlah memuji-Nya...” (Al-Furqan: 58)
Dari ayat ini, Allah ﷻ memberikan kita gambaran ringkas, bahwa kalaulah kita berbicara sumber daya tahan, kekuatan, dan energi, maka terhubunglah dengan satu sumber besar yang terus hidup dan tidak akan pernah mati; agama menjelaskan itu.
Krisis kepemudaan, kemahasiswaan, dan kemasyarakatan di Indonesia begitu panjang. Sudah dia panjang, bebannya banyak pula. Sudah dia banyak, menguras pikiran pula. Sudah dia menguras pikiran, masih juga akrab dengan ancaman hidup dan mati. Lihatlah ketika KAMMI terlibat dalam aksi-aksi demonstrasi, bukankah banyak yang kena pukul, ditahan, bahkan tak jarang juga diancam keselamatannya. Risiko ini, membutuhkan daya tahan yang tidak terputus, yang bersumber dari agama. Sebagaimana pada ayat di atas.
Saat kita membuka 'Sirah Nabawiyah' kita mungkin akrab dengan peristiwa Rasulullah ﷺ yang bolak balik ke gua Hira merenung kondisi manusia saat itu. Sampai ketika Allah ﷻ menurunkan wahyu pertama kepada Rasulullah ﷺ melalui Jibril. Lalu Wahyu-wahyu Allah ﷻ terus berlanjut. Kalau kita melakukan zoom lebih dekat, bahwa yang di bawah oleh Ar Rukh (Jibril) bukan sekadar wahyu, tapi juga sebagai kekuatan, sebagai energi, sebagai sumber perubahan untuk manusia. Perubahan dilakukan saat adanya krisis. Dan wahyu (agama) memiliki tugas untuk meyakinkan bahwa semakin gelap suatu malam, pertanda pagi semakin dekat.
Tatkala ketika Rasulullah ﷺ kehilangan pamannya Abu Thalib, yang menjadi back up politik di masa-masa transisi dakwah. Lalu menyusul istri Rasulullah ﷺ juga meninggal dunia, Ummul Mukminin Khadijah Radiallahu 'anha juga sebagai back dakwah rasulullah ﷺ, betapa tahun itu menjadi tahun kesedihan Rasulullah ﷺ, sehingga Allah perlu meminggil Rasullullah ﷺ ke atas langit untuk menerima wahyu yang menjadi kekuatan bagi umat Islam, yakni salat.
Ketika musim begitu ganas di jazirah Arab, dan pasukan Nabi kelelahan dalam masa persiapan perang. Rasullullah ﷺ mengatakan kepada Bilal, “Ya Bilal, ahrina bi sholah" wahai bilal, istirahatkan kami dengan salat. Salat menjadi bagian penting bukan hanya ia diwajibkan atas umat Islam, juga sebagai aktivis yang langsung menghubungkan manusia dengan Allah ﷻ, sumber kekuatan yang tidak ada batasannya.
Saat angin laut sedang lembut-lembutnya, perenungan saya terhenti pada kalimat Buya Hamka:
“Dalam salat kita melepaskan soal-soal kehidupan. Soal hutang piutang, sekalian dikiran yang bersangkut dengan soal laba rugi, soal politik dan ekonomi, bahkan seluruh soal yang berkenaan kebendaan. Lepaskan itu semua dan tujukanlah kepada Yang Satu. Akan lebihterasalah bekas salat itu bagi jiwa, kalau saudara bangun dan pergi ke masjid dengan tetangga-tetangga. Kadang-kadang tetangga itu yang terdekat, kadang-kadang orang tani, kadang-kadang opas, pesuruh kantor, kadang-kadang tukang rumput, kadang-kadang kuli borongan. Di sana akan dapat saudara kikis penyakit masyarakat zamanmodern, yaitu egoistis; tak ada hubungan dengan orang lain. Di sana akan dapat saudara kikis rasa berkelas yang tumbuh dalam masyarakat.
Kalau saudara seorang politisi, “dari masjid pergilah ke parlemen.
Kalau saudara seorang ekonom, “dari masjid pergilah membuka NV.”
Kalau saudara seorang pujangga, “dari masjid mulailah menulis."
Jangan sebaliknya. Kalau sebaliknya, saudara tidak akan merasakan ketentraman dalam hidup.” Buya Hamka, dalam buku, 'Pandangan Hidup Muslim'.
Dari kejauhan mata yang memandang para nelayan, akhirnya saya mengerti, pertanyaan yang terlintas begitu saja tentang “dari manakah KAMMI mendapat sumber kekuatannya untuk bisa terus bergerak?” Jawabannya, bukan dari uang proposal, bukan dari donasi senior, bukan dari transaksional politik tertutup, melainkan dari Allah saja; dari agama, dari menegakkan salat.
📝 Sanjun. Ditulis dalam musim angin laut bulan September.