Saban tanggal 22 Oktober, santri dan pesantren menjadi langganan kata yang sering disebut- sebut sebagai bentuk refleksi Resolusi Jihad yang diproklamirkan oleh ulama kharismatik Kiai Hasyim Asy’ari, yang kemudian dikenal sebagai Hari Santri Nasional. Ultimatum tersebut dikeluarkan sebagai pernyataan para ulama bahwa mempertahankan kemerdekaan Indonesia hukumnya adalah fardhu 'ain (wajib bagi setiap individu muslim), sehingga setiap muslim yang tinggal di sekitar Surabaya—pada waktu itu— wajib mengangkat senjata untuk melawan pasukan penjajah. Namun, seiring berjalannya waktu, Hari Santri Nasional bukan hanya menjadi momentum tahunan yang bersifat sektoral, tetapi menjadi trigger untuk terlibat aktif dalam keberlanjutan pembangunan sosial, keagamaan dan pendidikan di Indonesia.
Dalam berbagai literatur, pesantren telah ada di Indonesia sejak berabad-abad lalu, dan berakar kuat pada ajaran Islam yang dipadukan dengan nilai-nilai lokal. Pada awalnya, pesantren berfungsi sebagai pusat pendidikan Islam yang sangat mendasar, di mana santri belajar al-Qur'an, fikih, tasawuf, hadits dan bahasa Arab di bawah bimbingan seorang kerap disapa “kiai”. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga pendidikan umum, keterampilan hidup hingga berbagai program pemberdayaan masyarakat melalui penerapan nilai-nilai Islam yang holistik. Pesantren menyediakan ruang bagi santri untuk belajar tentang tanggung jawab sosial, kepedulian terhadap sesama, serta pentingnya membantu kaum mustadh’afin serta kelompok-kelompok yang kurang beruntung.
Dalam Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (2019) karya Zamakhsyari Dhofier, dijelaskan bagaimana kiai sebagai pemimpin pesantren memainkan peran penting dalam menanamkan nilai-nilai sosial kepada para santri. Kiai tidak hanya berperan sebagai guru agama, tetapi juga sebagai tokoh masyarakat yang sering terlibat dalam berbagai masalah sosial di lingkungannya. Pandangan hidup kiai yang menekankan pada kesederhanaan, pengabdian dan kepedulian sosial kemudian diadopsi oleh santri dan menjadi modal sosial yang kuat ketika mereka terjun ke masyarakat.
Maka, tidak berlebihan jika pesantren jamak dan sering diasosiasikan sebagai institusi yang memainkan peran penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Tidak dipungkiri, bahwa warga pesantren, baik kiai maupun santri sering kali terlibat dalam urusan politik lokal, ekonomi dan sosial, meskipun dengan pendekatan yang lebih moral dan spiritual. Artinya, tradisi pesantren mencerminkan keterlibatan aktif dalam upaya mengatasi masalah-masalah masyarakat, seperti kemiskinan dan pendidikan.
Sebagai bagian integral dari ekosistem pesantren, santri tidak hanya mendapatkan ilmu agama, tetapi juga dilatih untuk menjadi individu yang peduli terhadap dua aspek utama: kesejahteraan masyarakat dan pelestarian lingkungan, yang keduanya menjadi bagian dari tanggung jawab sebagai khalifah fil ardh (pengelola bumi). Hal demikian terinternalisasikan dari nilai- nilai ukhuwah (persaudaraan) dan ta'awun (kerjasama) yang dijunjung tinggi melalui interaksi sehari-hari dengan masyarakat, baik diluar maupun didalam pesantren. Semisal, santri sering kali dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan sosial, seperti membantu masyarakat miskin, mengorganisir distribusi zakat, infak dan sedekah, serta memberikan pendidikan gratis kepada anak-anak yang tidak mampu. Dengan demikian, pesantren menjadi lembaga yang tidak hanya mencetak ulama, tetapi juga agen-agen perubahan yang mendorong terciptanya kesejahteraan sosial.
Selain berfokus pada ilmu agama, banyak pesantren kini mulai mengintegrasikan pendidikan keterampilan dan ekonomi di dalam kurikulumnya. Pesantren-pesantren seperti ini mendidik santri untuk memiliki kemampuan yang dapat memberdayakan masyarakat secara ekonomi. Misalnya, program-program pelatihan kewirausahaan yang digalakkan oleh berbagai pesantren, telah terbukti efektif dalam mencetak santri yang mampu berkontribusi secara langsung terhadap peningkatan ekonomi lokal. Dalam banyak kasus, pesantren juga berfungsi sebagai pusat distribusi bantuan sosial, baik berupa kebutuhan dasar, layanan kesehatan, maupun pendidikan informal yang semuanya berorientasi pada kesejahteraan sosial.
Lebih jauh, Gus Dur dalam Pesantren Sebagai Subkultur (1974) juga menekankan peran pesantren sebagai bagian dari subkultur yang memiliki ciri khas dalam membangun kesejahteraan sosial. Gus Dur berargumen bahwa pesantren tidak hanya harus dilihat sebagai lembaga keagamaan, tetapi juga sebagai entitas sosial yang berperan aktif dalam pembangunan masyarakat. Pesantren, menurut Gus Dur, memiliki sistem nilai yang mampu membentuk individu-individu yang memiliki komitmen terhadap transformasi sosial, terutama dalam hal pengentasan kemiskinan dan pendidikan.
Salah satu faktor yang mendukung peran santri dalam menciptakan kesejahteraan sosial adalah pemberdayaan ekologi, terlebih ditengah isu-isu lingkungan seperti perubahan iklim, polusi dan penurunan kualitas sumber daya alam semakin mendesak. Banyak pesantren saat ini mulai memperhatikan isu-isu lingkungan dan berusaha mengintegrasikan kesadaran ekologis ke dalam pendidikan mereka. Konsep "pesantren hijau" misalnya –dengan berlandaskan dari nilai- nilai Islam tentang keseimbangan (mizan)–, menekankan pada pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan, di mana pesantren mengajarkan kepada santri pentingnya menjaga kelestarian alam sebagai bagian dari tanggung jawab sosial mereka.
Pesantren-pesantren dengan gerakan hijau ini mengembangkan program yang juga banyak mengacu pada fiqih al-bi’ah (fikih lingkungan) yang dielaborasi oleh Kiai Ali Yafie –Allahu yarham– seperti pengolahan sampah, pertanian berkelanjutan dan konservasi energi sebagai bagian dari kurikulum non-formal. Pendekatan ini tidak hanya mendidik santri tentang tanggung jawab ekologis, tetapi juga memberi kontribusi nyata terhadap kesejahteraan lingkungan dan ekonomi masyarakat sekitar.
Keberpihakan pesantren pada kesejahteraan sosial dan ekologi menunjukkan bahwa Resolusi Jihad terkonversi pada kedua hal ini yang saling memberi kebermanfaatan. Kesejahteraan sosial tidak dapat dipisahkan dari keberlanjutan lingkungan, sebab ekologi yang terjaga dengan baik akan mendukung terciptanya kondisi sosial yang lebih baik. Lingkungan yang bersih dan sehat akan menyediakan sumber daya yang cukup untuk masyarakat, serta membantu mengurangi ketimpangan ekonomi melalui sistem yang berkelanjutan.
Semangat Hari Santri mesti mengilhami umat muslim untuk bertransformasi dan cepat beradaptasi sebagai agen perubahan sosial dan ekologis dengan menyebarkan pengetahuan dan nilai-nilai yang didapatkan di pesantren kepada masyarakat luas. Melalui kampanye sadar lingkungan, program penghijauan dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya, dengan membantu membangun komunitas yang lebih tangguh dan berkelanjutan. Di samping itu, pendekatan Islam terhadap keadilan sosial dan kelestarian alam memberikan dasar moral yang kuat bagi kita dalam menjalankan peran ini.
Oleh: Aldi Agus Setiawan (Kepala Bidang Sosial Kemasyarakatan PP KAMMI)