Oleh: Aldi A. Setiawan
(Ketua Bidang Sosial Kemasyarakatan PP KAMMI)
Peringatan Hari Bumi tiap tahun seharusnya menjadi ruang refleksi global atas relasi manusia dan alam. Namun di Indonesia, momen ini kerap direduksi menjadi selebrasi simbolik: menanam pohon, bersih-bersih pantai, atau kampanye daring yang tidak menyentuh akar krisis lingkungan yang sesungguhnya—yaitu ketimpangan akses terhadap sumber daya alam dan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat lokal dan adat.
Diskursus lingkungan di Indonesia kerap dibingkai dalam narasi “pembangunan berkelanjutan” yang tidak pernah menyentuh akar struktural ketidakadilan. Negara dan korporasi besar tampil sebagai "penyelamat bumi", padahal dalam praktiknya, merekalah yang banyak bertanggung jawab atas kerusakan ekologis. Proyek-proyek “hijau” seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), Food Estate, atau pertambangan nikel untuk kendaraan listrik sering kali mengabaikan prinsip keadilan sosial, mengusir masyarakat adat dari tanah ulayatnya, atau mencemari ruang hidup nelayan dan petani kecil.
Sebagai contoh, proyek IKN di Kalimantan Timur dilaporkan menggusur masyarakat adat Suku Balik dari wilayah yang telah mereka huni secara turun-temurun (Amnesty Indonesia, 2024). Di saat yang sama, proyek Food Estate di Merauke mengancam ruang hidup masyarakat Marind, yang tanahnya dijadikan lumbung pangan nasional tanpa partisipasi mereka (Kompas Lestari, 2024).
Pendekatan teknokratik dan top-down terhadap krisis iklim mengabaikan realitas sosial di lapangan. Pemerintah dan sektor swasta kerap memutuskan arah kebijakan lingkungan tanpa melibatkan masyarakat terdampak. Padahal, komunitas adat dan lokal memiliki pengetahuan ekologis yang teruji dalam mengelola lanskap secara berkelanjutan.
Paradoksnya, ketika krisis iklim terjadi—banjir bandang, kekeringan, dan polusi—justru masyarakat lokal yang paling terdampak. Namun suara mereka nyaris tak terdengar dalam forum kebijakan atau dalam kampanye lingkungan berskala nasional.
Hal ini mengonfirmasi bahwa perjuangan lingkungan di Indonesia belum sepenuhnya terhubung dengan perjuangan keadilan sosial. Agenda “hijau” masih didominasi oleh aktor-aktor kuat dan elite yang mendefinisikan apa itu ‘berkelanjutan’, siapa yang boleh tinggal di suatu wilayah, dan siapa yang harus disingkirkan.
Alih-alih membongkar akar kerusakan, peringatan Hari Bumi justru menjadi momen baru untuk konsumsi hijau dan greenwashing. Banyak perusahaan memanfaatkan Hari Bumi untuk pencitraan seperti memasarkan produk-produk “eco-friendly” tanpa mengubah cara produksi mereka yang eksploitatif. Hal ini menandai komodifikasi baru atas lingkungan: seolah bumi bisa diselamatkan lewat belanja atau gaya hidup personal, bukan lewat perubahan struktural.
Volkswagen, misalnya, dikenai denda puluhan miliar dolar AS karena memalsukan data emisi dalam kampanye mobil ramah lingkungan mereka (CleanHub, 2023). Di Indonesia sendiri, praktik greenwashing juga dapat ditemukan dalam kampanye perusahaan sawit dan tambang yang menyebut diri "berkelanjutan", meski tetap menimbulkan konflik lahan dan deforestasi.
Kebijakan pembangunan Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh warisan kolonial: tanah dan sumber daya dikuasai oleh negara atau swasta besar, sementara masyarakat lokal hanya dianggap sebagai “penghambat pembangunan.” Dalam konteks ini, proyek-proyek atas nama transisi energi atau mitigasi iklim—seperti PLTA Batang Toru, pertambangan nikel Morowali, dan IKN—bisa dibaca sebagai bentuk baru kolonialisme ekologis.
Ini menimbulkan pertanyaan penting: untuk siapa transisi energi dijalankan? Apakah untuk mewujudkan kedaulatan energi rakyat, atau justru memperkuat dominasi pasar global atas tanah dan sumber daya lokal?
Jalan Menuju Keadilan Sosial dan Ekologis
Mewujudkan keadilan ekologis di Indonesia berarti tidak sekadar memperbaiki lingkungan secara teknis, tetapi mengubah relasi kuasa dalam pengelolaan sumber daya. Ada beberapa langkah konkret dan mendasar yang harus diambil jika kita ingin Hari Bumi menjadi lebih dari sekadar seremoni:
- Pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat, sebab masyarakat adat adalah penjaga ekosistem penting, seperti hutan, pesisir, dan sumber air. Namun, pengakuan negara terhadap wilayah adat masih sangat terbatas. Hingga 2023, baru sekitar 160 wilayah adat yang ditetapkan oleh negara, dari ribuan wilayah yang telah diidentifikasi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Pemerintah perlu mempercepat proses legislasi dan implementasi RUU Masyarakat Adat, yang telah mangkrak selama lebih dari satu dekade. Pengakuan legal ini penting bukan hanya untuk keadilan sosial, tetapi juga sebagai strategi konservasi berbasis komunitas yang telah terbukti efektif.
- Reformasi tata kelola sumber daya alam, dimana sebagian besar konflik lingkungan di Indonesia berakar pada sistem perizinan yang eksploitatif dan minim partisipasi publik. Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang 2023 terdapat 212 konflik agraria, mayoritas di sektor perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, yang berdampak pada lebih dari 150.000 keluarga. Negara perlu mengubah paradigma dari "izin sebagai alat akumulasi" menjadi “izin sebagai instrumen keadilan ekologis”, dengan menempatkan masyarakat sebagai subjek utama pengelolaan lahan. Model tata kelola berbasis hak atas tanah, demokratisasi informasi, dan mekanisme keberatan publik wajib diperkuat.
- Transisi energi dari fosil ke energi terbarukan tidak boleh didominasi oleh korporasi besar. Di banyak wilayah, proyek energi bersih seperti PLTA, geotermal, dan tambang nikel justru menimbulkan konflik sosial dan kerusakan ekologi. Misalnya, PLTA Batang Toru yang disebut “ramah lingkungan” justru mengancam habitat orangutan Tapanuli dan merampas ruang hidup masyarakat lokal (Mongabay, 2023). Sebaliknya, energi bersih harus dikembangkan secara desentralistik dan partisipatif, seperti model micro-hydro, solar panel komunitas, dan koperasi energi. Model seperti ini telah sukses diterapkan di beberapa wilayah seperti Desa Kamanggih, Sumba, yang berhasil mengelola listrik tenaga mikrohidro berbasis swadaya dan partisipasi masyarakat (Hivos, 2022).
- Diperlukan pendidikan ekologis yang membongkar relasi kekuasaan dan memperkuat posisi masyarakat dalam memperjuangkan hak ekologisnya. Gerakan masyarakat sipil hingga pesantren dan komunitas budaya perlu menjadi ruang hidup bagi pendidikan kritis tentang keadilan sosial dan lingkungan. Kampanye Hari Bumi seharusnya juga menyasar kelompok-kelompok akar rumput, bukan hanya warga kota atau kalangan terdidik. Gerakan seperti Sekolah Rakyat untuk Keadilan Iklim, Pesantren Hijau, atau teater rakyat lingkungan dapat menjadi jembatan antara ilmu pengetahuan, budaya lokal, dan perjuangan hak-hak ekologis.
- Krisis lingkungan adalah krisis multidimensi. Oleh karena itu, perjuangan lingkungan tidak bisa berdiri sendiri, tetapi harus membangun aliansi dengan gerakan buruh, tani, perempuan, dan masyarakat adat. Contoh nyata adalah Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) yang menghubungkan gerakan anti-ekstraktivisme dengan pembelaan terhadap hak pekerja dan komunitas terdampak. Atau Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang mengintegrasikan isu agraria dengan pemulihan ekologi. Aliansi ini penting untuk membangun basis kekuatan rakyat yang mampu melawan narasi dominan pembangunan yang eksploitatif dan eksklusif.
Dengan memperkuat lima strategi di atas, Hari Bumi bisa menjadi momentum radikal untuk membalik arah pembangunan Indonesia—dari pembangunan yang merusak dan menyingkirkan, menuju pembangunan yang memulihkan dan mempersatukan.
Kembali lagi, Hari Bumi bukan sekadar seremoni hijau. Ia adalah panggilan untuk membongkar relasi kuasa yang timpang antara manusia dan alam, antara negara dan rakyat, antara korporasi dan komunitas. Tanpa perubahan mendasar dalam cara kita memproduksi, membangun, dan mendistribusikan sumber daya, penyelamatan bumi hanya akan menjadi ilusi.
Keadilan ekologis di Indonesia hanya akan terwujud jika kita berani menghadirkan keadilan sosial sebagai fondasi perjuangan lingkungan. Karena tanpa keadilan, tidak akan ada keberlanjutan. Dan tanpa keberlanjutan yang adil, Hari Bumi tak lebih dari sekadar nama di kalender.