Oleh : Ricki Pratama Putra
Dulu saya meyakini bahwa gerakan mahasiswa memang harusnya berada dalam gerakan moral yang bersih dari anasir kepentingan. Menebar tirai dari semua potensi penunggangan, karena demikianlah gerakan mahasiswa, berjuang dalam ranah juang ektraparlementer. Dan ini tidak terlepas karena memang pengaruh pikiran dua orang tokoh ini , Soe Hok Gie dan Soe Hok- djin (Arief Budiman), yang merupakan dua orang saudara (Mahasiswa Universitas Indonesia) dan juga mahasiswa angkatan 66’ sebagai pelopor gerakan moralis, masih sangat melekat di benak saya.
Pikiran mereka ini selaras dengan apa yang disampaikan Julian Benda dalam karyanya La Trabison des Clercs, dimana beliau menggambarkan cendikiawan sebagai sosok manusia ideal memang harus berprinsip “kerajaanku bukan di bumi ini”. Artinya para cendikiawan dikonstruksi sebagai manusia yang tidak memiliki kepentingan duniawi, para cendikiawan yang terlibat dalam dunia perpolitikan, bagi Julian Benda dilihat sebagai wujud dari “Penghianatan Intelektual”. Ini pula yang sepertinya menjadi landasan dalam Gerakan Mahasiswa Indonesia, dimana kita lihat border-border ketika aksi, ketidakinginan adanya manusia politik (anggota partai) dalam gerakan dan lain sebagainya, sebagai pembatas, bahwa selain manusia ber-Almet maka mereka adalah penyusup.
Namun belakangan, bila kita mau sedikit saja me re-envision (melihat kembali) gerakan mahasiswa saat ini. Tidakkah kita sadar bahwa, sekarang banyak gerakan mahasiswa tidak ubahnya hanya sekedar "gerombolan pemarah". Yang datang ketika terusik, dan pergi lagi ketika apa yang disampaikan telah sedikit dilirik.
Gerakan Mahasiswa yang kita bangun terus seakan menjadi gerakan sporadis dan dengan isu-isu temporer. Kita tidak belajar, bahwa kita telah terlalu lama menutup diri. Tidak hanya dari rakyat (entitas yang katanya kita perjuangkan). Namun sudah terlalu lama pula jauh dari membangun "sekutu" dengan pengambil kebijakan (anggota dewan, Partai, NGO dan/atau lainnya yg masih bisa didorong bekerjasama) untuk mendorong "bongkahan batu besar" cita-cita kesejahteraan yang seharusnya telah menjadi kenyataan.
Gerakan ini seakan terjebak dalam sebuah ilusi, berada dalam kutukan, bak mitos kutukan Sisyphus yang terus-menerus mendorong sebuah bongkahan batu besar ke atas puncak bukit. Setelah sempat merasakan kelegaan sedikit saat di puncak, batu besar itu menggelinding kembali ke kaki bukit untuk kembali didorong ke atas bukit berulang-ulang.
Aktivis terus berada dalam lingkaran yang sama, menjadi Aktivis Gerakan, Bekerja, menikah, kemudian pergi dari organisasi gerakan, lalu diganti oleh generasi mendatang.
Saya hanya ingin mengajak kembali berpikir, kemana arah perjuangan ini ? Kemana kita harus belajar ? Arah perjuangan ini kemana, mungkin butuh waktu yang panjang untuk kita saling bertukar pikiran.
Namun kemana kita harus belajar ? Saya kira ini dapat menjadi pantikkan, ketika kita mau belajar dari Revolusi Penguin dan Chilean Winter (Gerakan Musim Dingin, istilah diambil terinspirasi dari Arab Spring) yang dilakukan para pelajar di Chile. Gerakan ini akan membuka wawasan kita lebih jauh dalam membaca arah perjuangkan kedepan. Sehingga arah perjuangan gerakan mahasiswa kedepan akan lebih terarah, dan tidak bersifat dikotomis. Terjebak pada istilah-istilah lama, kita adalah Moral force, Iron stock dan whatever lah. Yang membawa kita menjadi bak koboy pejuang, bila meminjam istilah Soe Hok Gie, Ia (Koboy) datang dari horizon yang jauh, lalu menantang bandit berduel dan menang, setelahnya tanpa ada pamrih ia kembali pergi ke horizon yang jauh.
Saya tidak terlalu mempermasalahkan itu, bahwa bergerak tanpa pamrih adalah hal yang mulia. Namun melihat kegagapan mahasiswa membaca bahwa kemuliaan itu adalah ketika gerakan harus murni hanya mahasiswa (tidak bekerjasama dengan banyak sekutu) dalam kepentingan perjuangan. Inilah yang menggelitik bagi saya.
Kisah revolusi ini tidak perlu saya ceritakan secara panjang. Namun, poin utamanya adalah dalam revolusi ini, ada satu pembelajaran yang banyak tidak kita lakukan gerakan. Yakni melibatkan semua entitas yang berjuang dalam mencapai tujuan. Gerakan revolusi Chile telah mencontohkan itu, ketika pelajar, Mahasiswa, Serikat Buruh, Serikat Dosen, Partai Kiri dan orang tua pelajar bersatu menuntut perbaikan pendidikan. Hasilnya adalah pendidikan gratis hingga sekarang, bahkan dapat menghantarkan Michelle Bachelet Jeria sebagai presiden di Pemilu 2013. Bachelet yang diusung aliansi sayap Kiri akhirnya memenangkan pemilu dan resmi menjadi Presiden pada 11 Maret 2014. Setelah itu baru kebijakan pendidikan publik ditetapkan pada Desember 2014. Disinilah baru kita bisa berteriak "Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan". Ketika gerakan rakyat menjadi gerakan semesta dan mencapai tujuan bersama yang di cita-cita kan.
Lalu, Mahasiswa harus apa ?
Gerakan yang dibangun di Chile merupakan gerakan pelajar yang bertransformasi menjadi gerakan rakyat di Chile, gerakan ini memberi pelajaran yang berharga bahwa perjuangan semesta yang bervisi kerakyatan tidaklah utopis. Cita-cita itu bisa diraih. Akan tetapi tidak semudah seperti membalik telapak tangan, perlu melalui pembentukan front blok historis, berbagai aksi massa, dan perjuangan politik bertahun-tahun lamanya.
Di kondisi disorientasi sosial yang penuh kebingungan ini (mengutip Alian Badiou) maka trajectory Gerakan Mahasiswa dan Rakyat harus dibangun dengan melakukan demokratisasi di semua sisi. Setidaknya, Pertama, membangun narasi perjuangan yang melampaui sekat-sekat sektoral/lokalistik, melepaskan semua sisi ego sektoral.
Kedua, Gerakan Mahasiswa harus dijauhkan dari sikap konservatif (tidak mau membuka diri) dan pragmatis.
Ketiga, Membuka ruang yang memungkinkan gerakan mahasiswa dan masyarakat luas untuk duduk bersama, mendiskusikan beragam persoalan, lalu menyusun resolusi bersama. Ruang itu adalah majelis-majelis, yang sifatnya terbuka, demokratis, dan memperlakukan semua partisipan secara setara. Ada majelis berbasis teritori, yang memungkinkan gerakan mahasiswa berdialog dengan masyarakat luas. Strategi memungkinkan gerakan mahasiswa meraih dukungan luas dari masyarakat dan lain-lain.
Keempat, tidak memunggungi perjuangan politik (Antipati terhadap Politik) Bila belajar dari gerakan di Chile, Bahkan beberapa tokoh gerakan ini, seperti Camila Vallejo, Karol Cariola, Gabriel Boric, dan Giorgio Jackson, adalah kader-kader partai Izquierda Autónoma (IA), gerakan kiri yang berusaha memadukan antara marxisme dan prinsip otonomisme. Partai ini banyak menggarap aktivis mahasiswa. Sejarah revolusi yang sukses juga menunjukkan, agar energi rakyat tak sia-sia dan bisa mengubahnya menjadi kekuatan yang mendorong perubahan, sebuah organisasi politik sangat dibutuhkan.
Kelima, Kristalisasi Ideologi mestilah terang, dan jembatan antara ideologi, teori dan praktik antar sektoral, sampai saat ini Partai masih menjadi alternatif untuk menjembataninnya. Tapi jika ditanya partai seperti apa tentu eksperimennya macam-macam dan masih tetap dilakukan hingga hari ini.
Dapat dengan melakukan kerjasama dengan partai-partai lama maupun pendatang baru. Atau alih-alih menumpangkan nasib dan perjuangannya pada partai-partai tradisional, sebagaimana para aktivis di chile lebih memilih partai progresif atau mendirikan partai alternatif. Partai alternatif ini menekankan prinsipnya pada platform anti-neoliberalisme, demokrasi partisipatoris, dan independensi dari kelompok bisnis (oligarki).
Sekali lagi, revolusi penguin dan Chilean winter bisa menjadi pemantik diskusi kita kedepan, barangkali.
Wallahua'lam Bishawab
Ctt :
Foto tersebut merupakan bagan aktor perjuangan Revolusi Penguin dan Chilean Winter.