SIARAN PERS
Senin, 14 Oktober 2024
Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI)
Pemerintahan baru presiden terpilih, Prabowo Subianto, yang akan dilantik pada 20 Oktober mendatang merencanakan pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) sebagai langkah penting dalam reformasi kelembagaan dan administrasi penerimaan negara. BPN kabarnya dirancang untuk menyatukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), yang sebelumnya berada di bawah Kementerian Keuangan, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Kementerian BUMN ke dalam satu institusi yang lebih terfokus.
Pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pengumpulan penerimaan negara serta memperkuat transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pajak, cukai, dan PNBP. Dengan target mencapai tax ratio 23% dalam lima tahun, naik signifikan dari kondisi saat ini yang hanya 10%, BPN diharapkan mampu menjawab tantangan fiskal. Pada tahun 2025, belanja negara diproyeksikan mencapai Rp3.613,1 triliun, sementara target penerimaan hanya Rp3.005,1 triliun, atau sekitar 12,32% dari PDB, mencerminkan perlunya optimalisasi penerimaan untuk menutup selisih anggaran.
Beberapa ahli ekonomi juga menyatakan bahwa pembentukan BPN menawarkan sejumlah keuntungan penting bagi ekonomi nasional. Dengan adanya institusi yang berfokus sepenuhnya pada penerimaan negara, pemerintah akan memiliki keleluasaan lebih besar dalam merancang dan menerapkan kebijakan perpajakan dan bea cukai. Ini termasuk pengenaan pajak baru yang lebih cepat dan fleksibel, serta penggunaan teknologi informasi untuk meningkatkan administrasi perpajakan dan kepatuhan pajak.
Namun, di balik peluang besar ini, Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI) memberikan beberapa catatan kritis yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya. PP KAMMI mengingatkan bahwa reformasi perpajakan melalui pembentukan BPN tidak boleh hanya berfokus pada peningkatan penerimaan negara dengan memberikan beban pajak yang terlalu besar untuk masyarakat kelas menengah dan bawah.
“Kami mengapresiasi upaya pembentukan BPN sebagai bagian dari reformasi kelembagaan yang krusial. Tetapi Kebijakan perpajakan di Indonesia selama ini terlalu membebani kelas menengah dan bawah. Oleh karena itu, pembentukan BPN harus menjadi instrumen yang lebih kreatif dalam menentukan sektor-sektor yang dapat dikenakan pajak tanpa terus menekan kelompok masyarakat yang sudah terbebani,” ujar Iskandar Zulkarnaen selaku ketua bidang Kemaritiman dan Investasi PP KAMMI.
PP KAMMI menekankan pentingnya kebijakan yang lebih fokus pada penerimaan baru pada sektor-sektor yang lebih strategis seperti pajak karbon, dan cukai tambahan pada beberapa komoditas yang telah lama didiskusikan tetapi belum terwujud. "Keberhasilan dari pembentukan BPN nantinya tentu tidak bisa hanya diukur dari seberapa besar struktur dirombak, tetapi juga dari inovasi kebijakan yang diambil untuk menggali sumber-sumber penerimaan baru yang selama ini belum tergarap maksimal," kata Iskandar.
Selanjutnya, PP KAMMI juga mendorong BPN untuk berani menerapkan kebijakan yang lebih progresif, seperti pemberlakuan pajak kekayaan (wealth tax) bagi mereka yang memiliki aset di atas Rp1 triliun. Menurut Iskandar, pendekatan ini akan lebih adil dan memberikan dampak signifikan bagi penerimaan negara dibandingkan kebijakan seperti Tapera 3% atau kenaikan PPN 12%, yang hanya akan menambah beban bagi rakyat ditengah kondisi ekonomi yang sedang lesu. “Alih-alih fokus pada kebijakan yang semakin menyudutkan kelas pekerja, pemerintah harus mulai berani mengejar potensi besar dari orang-orang yang memiliki kekayaan luar biasa,” ujar Iskandar.
Selain itu, PP KAMMI juga mendesak agar BPN mengambil langkah-langkah tegas terhadap para pengemplang pajak. Beberapa waktu yang lalu Dewan Pengarah TKN, Hashim Djojohadikusumo menyatakan bahwa ada lebih dari Rp 300 triliun potensi penerimaan pajak yang tidak dibayarkan oleh pengusaha besar dan wajib pajak lainnya. “BPN yang fokusnya pada penerimaan negara harus pula dibekali dengan kewenangan untuk mampu menindak tegas para pengusaha besar yang selama ini lolos dari kewajiban mereka. Jika tidak, pembentukan BPN akan kehilangan maknanya dan hanya menjadi perubahan administratif tanpa substansi,” tambah Iskandar.
PP KAMMI percaya bahwa pembentukan badan baru ini hanya akan berhasil jika ada political will yang kuat untuk menghadirkan kebijakan perpajakan yang lebih adil dan berpihak pada seluruh rakyat Indonesia. BPN harus menjadi institusi yang tidak hanya meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga menegakkan prinsip keadilan sosial dalam kebijakan fiskal.
Iskandar juga menyampaikan bahwa pembentukan BPN harus dilakukan dengan hati-hati dan cermat. “Ini adalah perubahan besar dalam struktur pengelolaan penerimaan negara. Langkah ini harus dipersiapkan secara matang, baik dari segi desain kebijakan, operasional, maupun pengawasan, agar tidak menimbulkan masalah baru atau mengganggu stabilitas fiskal,” ujar Iskandar. Menurutnya, segala aspek, mulai dari regulasi hingga sumber daya manusia, harus diperhatikan secara serius agar BPN dapat berfungsi optimal tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat luas.
“Reformasi ini harus bisa diawasi dengan baik oleh publik, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap sistem pengelolaan penerimaan negara dapat terbangun,” tambah Iskandar.
KAMMI akan terus mengawal proses pembentukan BPN ini agar kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintah melalui pemebentukan BPN benar-benar membawa manfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat, tanpa menambah beban bagi mereka yang paling rentan. “Pemerintahan baru yang akan datang harus memastikan bahwa badan ini tidak hanya sekadar menunaikan janji kampanye belaka, tetapi benar-benar bisa membawa perubahan nyata yang memberikan manfaat besar bagi penerimaan negara dan kesejahteraan rakyat,” tutup Iskandar.
Bidang Humas PP KAMMI 2024-2026