oleh Ahmad Zain Ghifari, Kepala Bidang Politik, Hukum dan HAM PP KAMMI
Indonesia kembali dihadapkan pada sengketa kewilayahan yang memalukan antara dua provinsi, yaitu Aceh dan Sumatera Utara. Di tengah gembar-gembor digitalisasi pemerintahan dan otonomi daerah, kita justru disuguhi polemik tentang status kepemilikan sejumlah pulau kecil seperti Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, dan pulau-pulau lainnya yang secara administratif dipetakan masuk ke dalam wilayah Sumatera Utara oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Padahal secara historis, geografis, hingga kultural, pulau-pulau tersebut lebih dekat dan telah dikelola secara nyata oleh masyarakat serta pemerintah daerah Aceh.
Ini bukan sekadar kisruh administratif. Ini adalah bentuk kegagalan sistemik dalam mengelola pemerintahan secara adil, transparan, dan berbasis hukum.
Jika ditelaah dari sudut pandang teori administrasi negara menurut Arthur Mass, maka peristiwa ini merupakan kegagalan klasik dari apa yang seharusnya menjadi tujuan utama administrasi negara, yaitu menghubungkan kebijakan publik dengan kebutuhan nyata masyarakat. Arthur Mass menekankan bahwa administrasi negara tidak boleh berhenti sebagai alat teknis, melainkan harus menjadi sistem yang responsif terhadap nilai-nilai sosial dan politik masyarakat lokal. Ia menyatakan, "effective administration is always contingent upon the ability to integrate diverse interests within a rational-legal framework."
Teori yang dikemukakan Arthur Mass sangat berbeda dengan kenyataannya. Keputusan Kemendagri tentang wilayah administratif tersebut tampaknya diambil secara sepihak, tanpa melibatkan partisipasi masyarakat lokal, lembaga adat, bahkan pemerintah daerah Aceh sendiri. Ini menandakan bahwa birokrasi kita belum menjalankan peran sebagai instrumen rasionalisasi kebijakan, melainkan masih bersifat teknokratik dan eksklusif. Pemerintah pusat seolah lupa bahwa negara bukanlah mesin kekuasaan, melainkan pengelola amanah rakyat.
Jika ditelisik dari perspektif hukum administrasi negara, tindakan Kemendagri menetapkan status kewilayahan pulau-pulau tersebut juga patut dikritisi secara tajam. Dalam logika hukum administrasi, setiap tindakan atau keputusan tata usaha negara (KTUN) harus mematuhi asas legalitas dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) seperti kecermatan, kepastian hukum, akuntabilitas, dan tidak menyalahgunakan wewenang.
Pasal 14 dan 15 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa perubahan batas wilayah harus dilakukan melalui kesepakatan bersama antara pemerintah daerah yang bersangkutan, disertai rekomendasi DPRD, dan ditetapkan oleh pusat melalui mekanisme yang partisipatif dan transparan. Jika proses ini tidak ditempuh, maka keputusan tersebut dapat digugat melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai bentuk pengujian legalitas tindakan administratif pemerintah.
Terlebih lagi, Aceh memiliki kekhususan berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang memberikan kewenangan otonom untuk mengelola sumber daya alam hingga 12 mil dari garis pantai. Ketika wilayah yang selama ini dikelola oleh masyarakat Aceh justru “dipindah tangan” secara administratif, maka ini adalah bentuk pengingkaran terhadap kekhususan dan hak-hak kolektif yang dijamin oleh undang-undang.
Fenomena ini membuktikan bahwa sebagian besar lembaga negara masih terjebak dalam cara pandang kolonial birokrasi, yang menjadikan rakyat sebagai objek, bukan subjek. Keputusan birokrasi tidak hanya abai terhadap aspirasi lokal, tapi juga memicu potensi konflik horizontal antara dua provinsi yang selama ini hidup berdampingan. Pemerintah pusat gagal menjadi mediator yang netral dan justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri.
Sebagai organ mahasiswa, KAMMI tidak bisa diam melihat negara mengulangi kesalahan yang sama. Negara acapkali mempermainkan batas wilayah seenaknya, tanpa dialog, tanpa keterbukaan, dan tanpa rasa tanggung jawab terhadap masyarakat yang terdampak. Jika dibiarkan, ini tidak hanya menjadi masalah teknis wilayah, tetapi dapat menjadi bom waktu konflik politik dan sosial yang menggerus kepercayaan publik terhadap negara.
Dalam negara hukum, yang membedakan keputusan negara dari kehendak sewenang-wenang adalah kepatuhan pada hukum dan keadilan substantif. Jika negara gagal dalam menetapkan batas wilayah secara sah, akurat, dan adil, maka negara telah gagal menjalankan fungsinya yang paling mendasar: melindungi hak setiap daerah dan warganya.
Karena pada akhirnya, yang diperebutkan dalam konflik semacam ini bukan hanya garis batas administratif, tetapi harga diri daerah, identitas masyarakat lokal, dan kepercayaan terhadap republik ini.
Sikap KAMMI sebagai entitas gerakan pemuda dan mahasiswa sangat jelas, yaitu negara harus hadir untuk semua, bukan hanya untuk kepentingan pusat.
Oleh karena itu, KAMMI mendesak kepada Kemendagri untuk melakukan hal-hal berikut ini:
1. Melakukan audit kebijakan secara terbuka
2. Peninjauan ulang melalui mekanisme hukum dan politik sebagai upaya membatalkan keputusan terkait.
3. Reformasi paradigma birokrasi di seluruh lembaga negara, khususnya Kemendagri dan mengedepankan prinsip inklusivitas, deliberatif dan meritokrasi.