SIARAN PERS
Rabu, 25 September 2024
Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI)
Keputusan Presiden Joko Widodo membuka kembali ekspor pasir laut setelah lebih dari dua dekade menuai kontroversi dan kritik dari berbagai pihak. Salah satu kritik tajam datang dari Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI).
Ketua Umum PP KAMMI Ahmad Jundi Khalifatullah, menyatakan bahwa kebijakan ini yang diklaim untuk mengatasi sedimentasi dan membersihkan laut, hanya menjadi dalih bagi kepentingan ekonomi kelompok oligarki tertentu. “Kami melihat kebijakan ini sebagai langkah kontroversial dari Presiden Jokowi di akhir masa jabatannya. Kebijakan ini jelas akan memberikan dampak negatif bagi ekosistem laut dan hanya menguntungkan segelintir oligarki,” ujar Jundi.
Regulasi yang mengatur ekspor pasir laut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 20 Tahun 2024 dan Permendag No. 21 Tahun 2024, yang merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2023.
Menurut Jundi, "regulasi ini cacat hukum, karena hanya berpedoman pada UUD 1945 dan UU Kelautan dan Perikanan, padahal seharusnya, turut mengacu pada UU No. 1 Tahun 2014, perubahan dari UU No. 27 Tahun 2007, yang secara eksplisit melarang penambangan pasir yang merusak ekosistem”, tegasnya.
Ia melanjutkan, jika memang tujuan kebijakan ini adalah membersihkan sedimentasi laut, seharusnya pemerintah menugaskan BUMN atau pemerintah daerah untuk melakukan tugas tersebut. “Dengan alasan sedimentasi, pemerintah justru memberikan legalitas kepada pihak swasta yang pada akhirnya hanya menguntungkan mereka,” lanjut Jundi.
Dari perspektif ekonomi, Ketua Bidang Kemaritiman dan Investasi Iskandar Zulkarnaen menyoroti, potensi penerimaan negara dari ekspor pasir laut. Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) diproyeksikan mencapai Rp1.122 triliun. Jumlah ini berdasarkan estimasi total kebutuhan material ekspor sebesar 17,23 miliar meter kubik dari total potensi volume sedimentasi di tujuh lokasi pengerukan sebesar 17,65 miliar meter kubik, dikurangi kebutuhan material reklamasi dalam negeri sebesar 421 juta meter kubik. Dengan harga patokan internasional Rp186.000 per meter kubik sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 6/2024 serta PNBP sebesar 35%, total PNBP yang diterima diperkirakan mencapai Rp1.122 triliun.
“Meski proyeksi penerimaan negara terlihat besar, kita juga harus mempertimbangkan biaya pemulihan kerusakan infrastruktur pesisir dan potensi penurunan produktivitas ekonomi lokal yang melebihi pendapatan. Dengan biaya pemulihan mencapai Rp1.507 triliun per tahun, ada risiko besar yang didapat dari ekspor pasir laut, beban kekurangan ekonomi pemulihan kerusakan harus ditanggung oleh negara, sedangkan keuntungannya dinikmati oleh segelintir pengusaha. Ini menunjukkan ketidakseimbangan antara manfaat dan biaya yang harus ditanggung oleh perekonomian kita,” terang Iskandar.
Iskandar menyayangkan, bahwa kebijakan ekspor pasir laut bertentangan dengan visi pemerintah untuk mengembangkan blue economy atau ekonomi biru yang berkelanjutan. “Pemerintah seringkali menggaungkan ekonomi biru, namun kebijakan ini justru bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut,” lanjut Iskandar. menurutnya, kebiajakan ini menciptakan paradoks antara visi maritim pemerintah yang ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia dan kebijakan yang justru merusak lingkungan laut.
Ketua Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan PP KAMMI Aulia Furqon ikut mengkritik, Ia menekankan bahwa jika regulasi ini benar-benar untuk pelestarian lingkungan pesisir, maka aturan tersebut harus merujuk pada UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, yang menyatakan pada Pasal 56 ayat 1 bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut, jelasnya.
“Jika tidak dilakukan dengan cermat, kebijakan ini dapat menimbulkan dampak yang sangat signifikan terhadap kerusakan lingkungan dan masyarakat pesisir, bahkan berpotensi menyebabkan abrasi dan tenggelamnya pulau-pulau kecil di sekitar lokasi penambangan,” ungkap Furqon.
Lebih lanjut Furqon menjelaskan, jika pasir laut merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui, sehingga eksploitasi berlebihan dapat menyebabkan kelangkaan di masa depan, kerusakan terumbu karang, dan hilangnya habitat bagi biota laut.
terakhir, Furqon mengingatkkan “pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan ekspor pasir laut dan memprioritaskan eksploitasi sumber daya alam yang bertanggung jawab serta berkelanjutan. Keputusan ini menunjukkan bagaimana kepentingan ekonomi sering kali mengesampingkan perlindungan lingkungan. Kita harus tetap kritis dan mengawasi kebijakan pemerintah agar tidak merugikan generasi mendatang,” tutup Furqon.
Bidang Humas PP KAMMI 2024-2026