Oleh: Muhamad Hadiyan Rasyadi, S.H
Kepala Departemen Advokasi dan Bantuan Hukum PP KAMMI
Dengan dibacakannya putusan sidang etik ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK menandakan bahwa penegakan hukum di KPK kini berada di ujung nadirnya. Hal ini menandakan apa yang dilakukan Firli Bahuri sudah menerabas ketentuan hukum dan moral etik penegakan hukum di tubuh KPK, bahwa hal ini sudah mencoreng wajah KPK ditengah keraguan Masyarakat atas pemberantasan korupsi.
Sejarah panjang dan penuh harapan dari berdirinya KPK sebagai lembaga ad hoc pemberantasan rasuah kini sirna sudah. Semangat memperbaiki kepercayaan publik untuk memberantas korupsi adalah landasan sosiologis yang coba di bentuk oleh KPK, dan penyematan status ad hoc ini mengisyaratkan bahwa memang disuatu hari nanti rasuah akan lenyap di bumi pertiwi ini dan berakhirlah tugas KPK. Namun yang harus dicermati adalah bahwa berdirinya lembaga ini selalu beriringan dengan permasalahan yang menerpa lembaga ini sendiri.
Gerakan Reformasi diKorupsi bukan kali pertama alarm tanda bahaya di internal KPK berbunyi, ketika kita menarik ke belakang dari hadirnya kasus Cicak vs Buaya yang berjilid-jilid membuat kekisruhan didalam tubuh KPK. Bahwa kekisruhan ini terjadi karena adanya kepentingan antar sesama penegak hukum untuk menunjukan eksistensi kelembagaannya, bahkan kepentingan ini sampai kepada perebutan pucuk pimpinan lembaga ini.
Penyelematan kerugian negara sebesar 138,9 T rupiah akibat korupsi dari berbagai sektor pemerintahan menjadi prestasi yang selama 10 tahun kebelakang ini dimiliki KPK, hampir seluruh sektor pemerintahan telah melakukan korupsi dari mulai sektor industri Pembangunan fisik, bidang keagamaan dan paling mencengangkan di satu dekade terakhir ini adalah korupsi bantuan sosial di tengah krisis covid 19 yang melanda Indonesia. Selain itu warna mana lagi yang belum melakukan korupsi? Merah, kuning, hijau, biru, putih, semuanya tercatat pernah melakukan korupsi.
REFORMASI DIKORUPSI
Patut disadari bahwa penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK adalah penegakan hukum melawan penguasa, penegakan melawan kekuasaan diberbagai rumpun kekuasaan. Bahwa perlawanan ini akan sangat beresiko untuk bersinggungan dengan kepentingan kekuasaan dan yang sangat mungkin di terabas melalu regulasi. Dan hal ini lah yang terjadi di tahun 2019 di tengah panasnya pesta demokrasi kita ditunjukan dengan sebuar orkestrasi eksekutif, legislatif serta konsolidasi partai politik untuk merevisi UU KPK.
Revisi UU KPK ini lahir dari ide kepala pemerintahan yang berniat untuk memperkuat KPK, namun nyatanya revisi ini merombak sistem di tubuh KPK. Mulai dari obrak-abrik status pegawai, hingga lahirnya dewan pengawas serta bermuara pada pemilihan pucuk pimpinan yang bermasalah. Luarbiasanya seluruh rencana jahat ini terlaksana dan bahkan orang-orang yang menjadi akttor dalam pelemahan KPK ini terpilih kembali dalam Pemilu 2019, sehingga ini berdampak pada permasalahan-permasalahan pembentukan regulasi dan bermuara pada disahkannya UU Cipta Kerja yang kembali menggulung banyak masalah.
Setelah terpilihnya ketua KPK pada 2019 dengan berbagai dinamika, dijegalnya komisioner KPK Abraham Samad dengan berbagai cara, kita juga diperlihatkan dengan terdepaknya 57 pegawai KPK melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dalam menentukan status kepegawaian KPK. Selanjutnya dengan segala perlawanannya kita juga diperlihatkan intimidasi yang diterima penyidik senior KPK Novel Baswedan yang disiram air keras dan hampir merenggut nyawanya. Berjalan 1 tahun KPK mulai memperlihatkan buruknya integritas di internal mereka, adanya pengunduran diri wakil Ketua KPK Lili Pintauli atas dugaan etik menerima gratifikasi. Diobrak-abriknya KPK ini menjadikan kompleksifitas pelemahan KPK kian terlihat dan mudah dinilai oleh masyarakat, sehingga masyarakat dapat menilai bagaimana KPK hari ini berjalan.
UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI
Kini di tahun 2023 kita telah dipertontonkan atas perilaku keji yang dilakukan oleh ketua KPK Firli Bahuri, dan besar kemungkinan bahwa Firli Bahuri akan terus menjalankan proses hukum akibat apa yang telah dilakukan dan secara tegas dia harus hengkang dari tubuh KPK. Hal ini memungkinkan di akhir 2023 ini KPK merestart dirinya, kegaduhan yang terjadi ini beriringan kembali dengan adanya pesta demokrasi yang akan dihelat di 2024 mendatang.
Berbarengan dengan hal tersebut upaya-upaya pemberantasan korupsi justru mandeg di lembaga Legislatif, hal tersebut ditandai dengan ditarik ulurnya RUU Perampasan Aset. Bahwa RUU tersebut dinilai akan mampu menanggulangi korupsi dengan mencoba memberikan efek jera pada koruptor dengan merampas asset pribadi koruptor untuk “dimiskinkan”. Karena yang selama ini kita saksikan bahwa dari berbagai hukuman penjara dan pencabutan sementara hak politik pada koruptor justru tidak membuat efek jera.
Kita dapat perhatikan pencabutan sementara pada hak politik koruptor sangat tidak membuat efek jera, faktanya berdasarkan laporan ICW tercatat ada 49 Caleg mantan napi Korupsi yang kembali mengikutin perhelatan Pemilu 2024 nanti. Maka jangan sampai kita kecolongan kembali atas kesempatan yang diberikan kepada mantan narapidana korupsi ini. Bahwa mengingat keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan pengungkapan sebagai faktor penyebab terbesar korupsi seperti yang disampaikan Jack Bologne dalam teorinya. Dan dapat kita simpulkan tidak adanya efek jera dan masih menguntungkannya korupsi akan bermuara pada keserakahan atas kekuasaan.
Sebagai refleksi akhir tahun dalam penegakan hukum di Indonesia, 85 kasus korupsi dan 2707 laporan dugaan korupsi adalah angka yang fantastis untuk sama-sama kita renungi dalam merumuskan resolusi penegakan hukum di tahun 2024 mendatang. Serta sebagai pemberantasan korupsi KPK bukan hanya hadir sebagai lembaga saja namun menghadirkan substansi dan melahirkan budaya hukum dalam penegakan korupsi, karena sejatinya KPK adalah harapan atas pemberantasan Korupsi di Indonesia.