Geliat proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sudah semakin kuat, seluruh peserta berbondong-bondong mulai berkampanye ria, karena Per 25 September 2024 kemarin masa kampanye telah dimulai hingga 23 November 2024 mendatang. Oleh karenanya sepanjang jalan yang dilalui banyak kemudian kita temui Alat Peraga Kampanye (APK) yang terpasang, tidak jarang pula APK tersebut terpasang secara serampangan di pohon, tiang Listrik dan tempat-tempat yang tak seharusnya sehingga menjadi polusi visual yang mengganggu bahkan tidak jarang mencancam keselamatan.
Teringat jelas pula dalam memori kita bersama, dalam lima kali prosesi Pemilihan Umum di Indonesia termasuk Pilkada, masa kampanye selalu meninggalkan masalah dan pekerjaan rumah. Selain urusan-urusan praktik kotor dan niretika oknum peserta dalam “menawarkan” dirinya kepada pemilih, dampak lingkungan akibat sampah APK juga begitu meresahkan. Entah berapa jumlah limbah yang akan dihasilkan pada Pilkada ini, tapi dalam Pemilu 2024 yang lalu, KLHK memperkirakan setidaknya lebih dari seperempat juta ton sampah limbah APK yang dihasilkan, mayoritas berbahan plastik yang susah untuk diurai dan daur ulang.
APK dan Ancaman Pencemaran Lingkungan
Kondisi volume limbah kampanye yang besar serta penanganan dan pengelolaan yang masih business as usual justru semakin membuka keran pencemaran lingkungan yang semakin nyata, karena mayoritas limbah kampanye berbahan plastik maka tentu akan terus meningkatkan jumlah sampah plastik di Indonesia. Belum lagi rata-rata APK di Indonesia terutama baliho dan spanduk terbuat dari plastik berjenis polyvinyl chlorida (PVC), masuk kategori paling sulit didaur ulang serta mengeluarkan racun kalau dibakar dan tentu menyumbang peningkatan emisi CO2. Belum lagi bila kemudian sampah itu ditimbun saja di TPA, ini berpotensi menjadi mikroplastik yang merusak lingkungan dan mengancam Kesehatan. Ancaman lingkungan yang lain sebagaimana diungkapkan dalam satu tulisan yang dimuat di Kompas juga diungkapkan bahwa untuk produksi 1 kilogram plastik/polyethylene (PET/ LDPE) dibutuhkan 2 kg minyak bumi dan bahan baku lain. Membakar 1 kg minyak bumi menghasilkan 3 kg karbon dioksida (CO2). Itu berarti, dengan membuat 1 kg bahan baku APK, seperti spanduk, baliho, atau umbul-umbul plastik, dihasilkan emisi 6 kg CO2. Bila kemudian dihitung dengan satu spanduk berukuran panjang 110 sentimeter, lebar 100 cm, dan tinggi 50 cm beratnya mencapai 0,35 kg, tergantung dari ketebalan dan jenis plastik yang dipakai. Dengan demikian, untuk satu spanduk seberat 0,35 kg, para politisi menyumbang emisi karbon 1,05 kg CO2. Jika ia memasang 2.000 spanduk, berarti ia menyumbang emisi CO2 sebanyak 2.050 kg (Baca dalam : https://www.kompas.id/baca/opini/2024/01/16/apk-dan-pencemaran-lingkungan) .
Oleh karenanya hal ini semakin menekankan urgensitas pengaturan dan penanganan yang komprehensif atas limbah APK ini, karena bila kemudian diabaikan dan terus menerus dibiarkan justru akan menjadi ancaman serius bagi lingkungan dan Kesehatan. Belum lagi PR lainnya, dimana kita begitu banyaknya pemanfaatan kertas dalam pemilu, dimana dalam riset yang dilakukan oleh Herwyn Malonda dimana untuk kota Manado saja dibutuhkan kertas sebanyak 6.675 RIM yang berarti ada 6675 pohon berusia 5 tahun yang ditebang untuk kebutuhan surat suara saja. Maka bila dalam konteks Pemilu dan Pilkada serentak, berapa juta pohon kita yang ditebang untuk memenuhi kebutuhan surat suara saja.
Regulasi Pemilu Kita Tidak Hijau
Pentingnya penanganan secara serius terhadap limbah alat peraga kampanye yang dihasilkan dalam pemilu dan pilkada, sebagaimana telah kita ungkapkan sebelumnya, ternyata tidak berbanding lurus dengan sistem pemilu yang hijau dan kuatnya regulasi yang ditujukan untuk mengaturnya. Hingga saat ini sistem pemilu kita jauh dari kata hijau dan berwawasan lingkungan. Bahkan hingga saat ini kita belum memiliki peraturan yang tegas tentang pertanggungjawaban peserta pemilu atau pilkada atas limbah APK ini, meskipun dalam konteks pemilu dan pilkada UU Pemilu dan UU Pilkada telah mengamanatkan realisasi nilai-nilai hijau dalam Pemilu. Pasal 66 ayat (5) UU No.1 Tahun 2015 semisalnya menyebutkan bahwa “ Pemasangan alat peraga Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (4) oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Norma ini disebutkan juga di Pasal 298 UU No.7/2017 tentang Pemilu. Kemudian di Pasal 85 ayat (2) UU No.1/2015 menyebutkan bahwa pemungutan suara dapat dilakukan secara elektronik. Begitupun telah ada pula Peraturan Komisi Pemilihan Umum yang sedikit bernuansa hijau, seperti aturan yang mengharuskan para peserta pemilu untuk mengadakan APK dengan bahan yang dapat di daur ulang dan melakukan pembersihan/penurunan sendiri atas APK tambahan yang diadakannya. Tapi pada realitasnya ini tidak berjalan baik termasuk penegakkan hukumnya. Hingga saat ini belum ada penerapan sanksi yang tegas baik secara administratif maupun yang lainnya, sehingga cenderung kewajiban ini tidak dilaksanakan oleh peserta pemilu.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan kemudian pada pemilu 2024 lalu juga menyadari hal ini, sehingga kemudian merespon dengan menerbitkan Permen (LHK) Nomor 3 Tahun 2024 soal Pengelolaan Sampah yang Timbul dari Penyelenggaraan Pemilu 2024. Sudah barang tentu ini tidak cukup, bila kita ingin membangun iklim demokrasi yang hijau, pemilu yang hijau, maka tentu kita perlu melakukan penguatan fondasi konsep, regulasi dan komitmen utuh untuk menekan jejak lingkungan negatif yang ditimbulkan oleh proses elektoral. Maka dari pada itu, kita perlu Menyusun regulasi berkaitan pemilu dan pilkada yang berbasis Environmental Ethics. Sehingga kemudian ada upaya penyusunan regulasi dan penegakan hukum yang berarti untuk dapat melakukan rekayasa sosial menuju Green Election di Indonesia.
Green Election : Mendorong Regulasi dan Sistem Pemilu Hijau di Indonesia
Semua proses elektoral yang kita lakukan dalam usaha menjaga prosesi transisi kepemimpinan yang sehat selama ini ternyata banyak meninggalkan jejak lingkungan negatif. Seperti banyak limbah yang berpotensi menjadi ancaman bagi Kesehatan dan Lingkungan termasuk ancaman krisis iklim, sehinggga hal ini mengharuskan kita kemudian untuk mengevaluasi secara mendasar prosesi pemilu kita. Karena harus diakui sistem dan prosesi pemilu kita sama sekali tidak berwawasan lingkungan dan/atau tidak pro natura. Sehingga penting untuk kemudian dalam pesta demokrasi ini diinternalisasikan nilai, prinsip dan etika lingkungan didalamnya. Untuk menuju pada realisasi green election tersebut, ada beberapa tawaran konsepsi yang dapat dikembangkan.
Pertama, adanya regulasi yang mengatur tentang biaya kompensi pengadaan alat peraga kampanye dan/atau sanksi denda bagi Peserta Pemilu yang lalai, abai dan tidak bertanggungjawab atas APK nya. Biaya kompensasi pengadaan APK ini merupakan suatu biaya yang harus dibayarkan peserta pemilu atas APK tambahan yang mereka adakan dan tidak ditertibkan oleh peserta pemilu sehingga telah menyebabkan terganggunya fungsi lingkungan akibat limbah-limbah tersebut. Untuk itu biaya kompensasi ini digunakan sebagai pembiayaan guna melakukan penanganan daur ulang terhadap limbah APK tersebut. Atau kemudian diberlakukannya sanksi denda bagi peserta pemilu yang melanggar ketentuan selama prosesi pemilu berlangsung, seperti pemasangan APK di pohon dan lain-lain. Biaya kompensasi dan/atau sanksi denda ini memiliki pijakan yang berdasar pada prinsip-prinsip dan etika lingkungan. Demi menjamin agar kemudian pemilu harus berdiri diatas beberapa prinsip, pertama, prinsip respect to nature, karena sebagaimana ungkapan Aldo Leopold, bahwa komunitas ekologis (termasuk manusia) harus menghargai dan menghormati setiap kehidupan dan spesies dalam ekologis itu, menjaga kohesivitas dan integritas komunitas ekologis. Kedua, Tanggung jawab (moral respond for nature), bahwa penghormatan terhadap lingkungan merupakan tanggungjawab moral manusia baik secara individu maupun kolektik agar bahu membahu menjaga kelestarian alam dan mencegah serta memulihkan kerusakan alam sebagai tanggung jawab kepada Allah SWT dan sesam Makhluk-Nya. Oleh karena itu tanggung jawab moral bukan saja bersifat antroposentris-egoistis melainkan juga kosmis. Rasa tanggung jawab mejaga alam timbul karena panggilan kosmis yakni menjaga keseimbangan dan keutuhan ekosistem sebagai suatu solidaritas kosmis (Cosmic Solidarity). Adanya biaya kompensasi dan/atau denda ini juga satu konsep realisasi asas pencemar membayar yang telah kemudian menjadi asas secara global sejak tahun 1992 pasca Deklarasi Rio.
Kedua, Mewajibkan APK dengan material ramah lingkungan. Untuk mendukung penerapan konsep green election di dalam pelaksanaan Pemilu/Pilkada maka dalam pengadaan alat peraga kampanye diperlukan konsep material ramah lingkungan. Material ramah lingkungan sebagai alat peraga kampanye sudah harus mulai diterapkan dengan adanya regulasi yang lebih tegas untuk mewajibkan bukan hanya sekedar himbauan tanpa sanksi selama ini. Penggunaan material ramah lingkungan memiliki tujuan untuk mencegah adanya sampah yang sebetulnya dapat digunakan kembali, mengurangi bahan baku baru, energi, serta polusi. Sebagai contohnya, alat peraga kampanye yang berbahan baku kertas, dapat diubah dengan menggunakan bahan atau serat alam non-kayu dan hasil pertanian seperti bambu, tandan kosong kelapa sawit, sabut kelapa, jerami, dan batang jagung. Jika memang terpaksa menggunakan kertas atau mungkin plastik, hal yang dapat dilakukan ialah menggunakan kertas atau plastic dari hasil daur ulang. Hal tersebut juga dapat mendukung konsep 4R yaitu reduce, reuse, recycle, dan replace yang merupakan cara terbaik untuk menangani sampah. Tidak akan ada lagi sampah Pemilu dari alat peraga kampanye yang terbuang sia-sia. Tentu tidak mudah, namun kolaborasi multi-stakeholder harus dibangun sehingga ada satu sistem penanganan yang terpadu dan terintegrasi terhadap limbah APK.
Ketiga, E-Election, selain penerapan sanksi, tentu yang paling mendasar adalah membangun sistem kepemiluan yang membatasi penggunaan-penggunaan bahan tidak ramah lingkungan dan sekali pakai dalam semua prosesi kepemiluan kita. Indonesia sudah harus secara serius untuk bersiap menuju ke arah digitalisasi sistem pemilu, dengan langkah-langkah awal membuat suatu regulasi yang hijau dan adanya pembatasan bahan tidak ramah lingkungan dan sekali pakai dalam tahap-tahap pemilu, menyusun satu sistem dan regulasi yang mengharuskan dilakukannya E-Campaign dan/atau Digital Campaign sehingga dapat menekan jumlah penggunaan APK hingga menyusun satu sistem E-Votting agar dapat membatasi pemanfaatan kertas dalam pemilu. Tentu hal ini tidak mudah, ada banyak tahapan yang harus dipersiapkan, mulai dari mempersiapkan teknologi hingga rekayasa sosial pembiasaan dan edukasi bagi Masyarakat agar terbiasa dengan E-Election ini. Karena dunia bahkan telah bergeser menuju politik modern, dimana justru kampanye-kampanye konvensional sudah makin ditinggalkan dan justru kampanye melalui media-media digital lebih berpengaruh untuk meraih simpati pemilih. Penulis ingin sedikit membawa kita bagaimana fenomena Brexit telah menjadi contoh nyata bagaimana kemudian mereka dapat memenangkan pemilu di Eropa melalui media sosial dan pesan-pesan sederhana. E-Election bahkan bila hanya menerapkan E-Votting saja berdasarkan data Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (kini bergabung dalam BRIN) dapat mengurangi hingga 50% biaya dalam Pemilu atau Pilkada, bila kemudian kewajiban E-Campaign pun diterapkan maka barang tentu bisa mengurangi jauh lebih besar biaya pemilu kita.
Tantangan kedepan
Persoalan yang terjadi di lapangan kemudian ialah narasi-narasi green itu dianggap selesai apabila kita sudah melakukan aktivitas yang mendukung pelestarian lingkungan. Namun, pertanyaan yang muncul kemudian ialah apakah aktivitas itu dilakukan secara berkelanjutan? Atau dengan pertanyaan yang lebih subtantif lagi yakni narasi-narasi green ini mampu menciptakan sistem demokrasi hijau yang kemudian menghadirkan sistem kepemiluan yang juga green di ruang-ruang publik. Semua itu dapat diwujudkan dengan kerja kolaboratif dan sinergitas dari berbagai pihak. Bahkan partai politik juga memiliki posisi yang strategis dalam membangun green election. Oleh karenanya kesadaran green election harus dimulai dari membangun awareness bersama para individu warga, termasuk partai politik sebagai aktor infrastruktur politik yang sedikit banyak mewarnai wajah sistem kepemiluan sebuah negara. Tuntutan pada partai politik untuk membangun sistem yang green perlu dibangun dan ditumbuhkan secara total dalam sistem negara demokrasi. Topangan persiapan negara juga harus mulai dilakukan, negara (penyelenggara pemilu) harus menyusun peta jalan yang serius ke arah Green Election ini.
Penulis : Ricki Pratama Putra, S.H.,CPM,CPS (Departemen Advokasi dan Bantuan Hukum Polhukam PP KAMMI)
*Bidang Humas PP KAMMI 2024-2026
Tulisan ini telah dimuat di media lain, diantaranya :