Oleh: Apdal, M.Sos
Masuk dalam ruang politik bukan hanya sebatas sebagai ambisi kekuasaan semata, para elit harus menyadari bahwa kita memilih demokrasi sebagai sistem bernegara, karena kita menyadari bahwa bangsa ini merupakan bangsa besar yang didalamnya hidup beragam kemajemukan mulai dari etnis, agama, ras dan golongan. Sehingga dengan memilih demokrasi sebagai sebuah sistem bernegara, kita menginkan bangsa dan negara ini bisa dikelolah secara bersama-sama dengan penuh keseimbangan.
Tanpa ada klaim satu kelompok tertentu yang merasa paling memiliki bangsa ini. Itu sebabnya dalam sistem demokrasi, kita mengenal istilah trias politica (eksekutif, legislatif dan yudikatif) pembagian kekuasaan negara sebagai wujud distribusi kekuasaan dan upaya untuk menyeimbangkan kekuasaan, sehingga tidak ada satu unsur kekuasaan yang terlalu dominan untuk mencega munculnya otoritarinisme.
Itulah sebabnya kita menyelenggarakan pemilu secara berkalah dan diatur periode jabatan kekuasaannya, sekali lagi ini upaya kita membangun satu sistem pemerintahan yang stabil dan membatasi kekuasaan. Dengan membatasi waktunya maka secara tersistem ini akan mencega potensi penyimpangan kekuasaan. Seperti diungkap Lord Acton “Poower tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely...", (kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut pasti korup…).
Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ke-tiga di dunia, harus mampu membangun sistem demokrasi yang kuat dan mapan agar positioning bargainingnya di kanca global bisa terus diperhitungkan, apalagi ditengah-tengah krisis multidimensi yang tengah mengancam, seperti keamanan global, isu climate cange (perubahan iklim), dan ancamam krisis pangan dan energy. Sayangnya demokrasi di Indonesia masih belum bisa sepenuhnya lepas dari sisa-sisa warisan feodalisme masa lalu, sehingga praktek-praktek kekuasaan masih kental nuansa feodal yang menganggap kekuaaan sebagai tempat meraih penghargaan dan penghormatan yang setinggi-tingginya, yang menyebabkan kekuasaan dan jabatan itu diupayakan sebagai milik kelompok sendiri dan terus merawat agar kekuasaan itu tetap berada dalam genggaman satu kelompok.
Tidak jarang pelanggengan kekuasaan itu menggunakan cara-cara yang melabrak pakem-pakem aturan konstitusi yang telah disepakati. Lembaga Trias politica pun bersenyawa dalam melahirkan produk-produk pelanggengan kekuasaan sehingga menyatu dalam satu kekuasaan absolut. Praktek-praktek kekuasaan tersebut disebabkan karena ada dua hal.
Pertama perangkat sistem demokrasi kita belum secara otomatis mencegah demikian, negara-negaga demokrasi yang mapan seperti Amerika Serikat telah memiliki sistem yang kuat yang dapat secara otomatis mencegah adanya penyimpangan, namun itu hal wajar karena Amerika serikat sudah ratusan tahun membangun sistem demokrasinya. Kalau kita merujuk pada teorinya Organski tentang tahap pembangunan politik, yaitu univikasi (integration), tahap pembangunan ekonomi (industrialiazation) tahap kesejahteraan (welfare state), dan tahap otomotisasi (keberlimpahan). Indonesia dalam kategorisasi tahapan ini bisa jadi masih dalam proses shifting dari tahap integrations menuju tahap industrialiazation, yaitu tahap sedang memformulasikan sistem ketatanegraan yang kuat menuju pengelolaan dan penguatan ekonomi. Indonesia sebagai negara baru dalam mempraktekkan demokrasi secara sepenuhnya di era reformasi ini tidak akan pernah bertumbuh menjadi demokrasi yang mapan yang melahirkan produk-produk kebijakan yang menciptakan keadilan dan kesejahteraan selama para elit tidak menyadari akan pentingnya pelembagaan sistem demokrasi yang kuat.
Kedua, moral etik elit kita yang masih kurang, karena sekuat dan sehebat apapun sistem ketatanegaraan pasti tetap ada celah dalam melakukan penyimpangan, maka moral etik itulah yang akan menutupinya. Hari ini kita banyak menyaksikan dengan terang-terangan perilaku politik yang mencerminkan minimnya moral etik para elit politik,
Kita juga meyesalkan tidak berjalannya fungsi partai politik sebagai satu-satunya institusi yang ada dalam nomenklatur konstitusi sebagai institusi yang berperan melahirkan calon-calon pemimpin baik dieksekutif, legislatif maupun yudikatif, karena pada ujungnya legislatif dan eksekutif inilah yang menyeleksi pucuk pimpinan dilembaga yudikatif.
Lengkaplah kekuasaan menjelma bagaikan gurita yang punya delapan lengan kuat yang digunakan mencengkram, begitu pula kekuasaan hari ini semua perangkat-perangkat kekuasaan menjadi satu irama dalam kendali segelintir orang atau kelompok untuk mengekang kemajuan demokrasi kita. Maka kedepannya kita butuh revolusi mental yang sesungguhnya dari para elit untuk betul-betul mengedepankan politik nilai bukan semata politik kekuasaan, Kita tidak ingin peradaban bangsa ini mundur, karena sudah terlalu banyak pengorbanan besar yang dipertaruhkan oleh anak bangsa ini dari generasi ke kegenerasi mulai dari perjuangan kemerdekaan, perjuangan 66 dan perjuangan reformasi 98. Bangsa ini telah banyak melaui peristiwa kebangsaan yang penting, khususnya dalam mencari format demokrasi yang relevan dan tepat dalam mnegelolah suatu bangsa, jangan sistemnya telah beruba-ubah sedemikian rupa tapi mental kita masi belum juga berubah. Menjelang pemilu 2024 para elit apalagi yang akan berkontestasi perlu menyadari hal demikian, bersama-sama mereflesikan diri untuk mempersembahkan yang terbaik untuk bangsa dan negara, bukan semata membawa kepentingan kelompok namun punya kesadaran untuk menghibahkan dirinya untuk kepentingan rakyat. Jangan justru yang dikorbankan adalah rakyat dan konstitusi demi kepentingan kelompok sendiri.