Oleh: Muhamad Hadiyan Rasyadi, S.H
Kepala Bidang Advokasi & Bantuan Hukum PP KAMMI
Kurun waktu empat tahun ke belakang, Indonesia sibuk menjadi tuan rumah berbagai konferensi tingkat tinggi. Ibu kota dan kota besar lainnya sibuk bersolek menjadi etalase agar memiliki nilai jual, yang pada akhirnya bukan hanya lewat konferensi saja namun seluruh event internasional dilibas Indonesia untuk menjadi tuan rumahnya.
Pasalnya Upaya ini dilakukan ditengah terseok-seoknya Indonesia dalam menghadapi pembangunan yang tak kunjung merata di pelosok negeri. Bukan menjadi tak bangga ketika Indonesia diterima oleh dunia, namun seakan-akan ini menjadi sebuah hal yang dipaksakan untuk mengobral negeri yang kaya raya akan sumberdaya alamnya ini.
Dari berbagai event internasional yang hadir di Indonesia nyatanya sukses membawa investor melirik ibu pertiwi ini. Dengan kawalan Cipta Kerja proyek-proyek strategis nasional didirikan, mulai dari kereta cepat yang menjadi pemanis ibu kota hingga mega proyek Ibu Kota Negara. Tak lupa ditengah itu terdapat airmata pembangunan yang mengalir di tanah Wadas.
Belum kering pilunya Wadas, kini kita dipertontonkan darah segar warga Rempang yang mempertahankan harkat hidupnya. Hal ini membuktikan bahwa hampir setiap proyek nasional menemui pertentangan dengan masyarakat yang hidup disana, yang ibaratkan bandul Proyek Strategis Nasional dan kebermanfaatan bagi masyarakat menjadi dua sisi yang akan saling berjauhan.
Cipta Kerja menunjukan sempitnya ruang publik untuk mempertimbangkan setiap pembangunan, amdal yang dapat di “pay later” pun menjadi shortcut dalam setiap pembangunan. Wadas seharusnya menjadi pembelajaran yang berharga bagi pemerintah dalam melancarkan Proyek Strategis Nasional, yang sayangnya Pemerintah tak pernah belajar dari kejadian tersebut. Bahwa masyarakat tak hanya sekedar “dibayar” untuk mengganti kehidupannya, namun bagaimana masyarakat didengar-dipertimbangkan-dan diberikan jawaban atas proses pembangunan tersebut.
Hal tersebut membuktikan bahwa pada akhrinya Masyarakat hanya menjadi objek Pembangunan yang dengan mudahnya diberikan uang penggantian atas tanah yang digarap, hal ini menjadi modus dalam setiap Pembangunan. Kejadian ini hanya menjadi repetisi awal Pembangunan infrastruktur negara, bahwa tak ayalnya Anyer-Panarukan yang digambarkan kesuksesan Pembangunan namun hal tersebut menyimpan kekejaman rodi di dalamnya. Selain itu pidato-pidato Joko Widodo dalam menggemborkan investasi kini tak ayalnya pidato Soekarno untuk meyakinkan masyarakatnya mengikuti Romusha.
Memukul mundur Masyarakat dengan kekerasan menunjukan Penjajahan terselubung yang hidup di era reformasi ini, aparat hanya menjadi alat untuk “melaksanakan tugas” tak ayalnya KNIL yang menjadi kuku Ratu untuk mencongkel tanah Masyarakat Indonesia. Keganasan itu menajdi kegagalan dialogis yang seharunya menjadi senjata utama Pemerintah dalam menunjukan kedigdayaannya.
Dari kegaduhan ini pemerintah selalu menggunakan kelengkapan yang melekat pada dirinya untuk”Menertibkan” Masyarakat, memukul mundur masyrakat adat dengan segala haknya yang sudah seharusnya dipertimbangkan. Kegagalan-kegagalan ini seharusnya diberhentikan atau setidaknya dievaluasi, bahwa seperti apa yang menjadi pendapat Prof. Mochtar Kusumaatmadja bahwa hukum tidak dijadikan sebagai “tool” atau “alat” namun hukum dijadikan sebagai “sarana”atau “instrument” dalam Pembangunan sebagai kritik terhadap Pound dalam kedudukan hukum dalam Pembangunan sebagai “social engineer”.
Segala Pembangunan bertajuk investasi ini hanya menggambarkan sebuah keberpihakan saja, bahwa yang kita lihat adalah “keroyokan” Menteri yang muncul di media untuk berbonding-bondong mengklarifikasi kegaduhan ini. Hal ini menunjukan keberpihakan siapa terhadap siapa, dan apakah pertumpahan darah ini akan terbayar dengan triliyunan investasi yang entah kapan akan terbayarnya?
Pembangunan ini akan terus berlanjut, Presiden di akhir masa jabatannya justru lebih gencar mengobral investasi-investasi yang mungkin dilakukan di Indonesia, walaupun itu kerap tak masuk akal dan tak bermanfaat. Kritik ini bermuara kepada bahwa setiap Pembangunan di Indonesia tak berlandaskan dari dialog Masyarakat dan pemerintah, kegagalan besar ini yang menunjukan tidak adanya transfer knowledge antara pemerintah kepada Masyarakat, pemerintah gagal “membohongi” Masyarakat untuk menunjukan set plan jangka panjang negara. Dan serampangannya pemerintah dalam meletakan batu Proyek Strategis Nasional membuat api dimana-mana, dan Rempang membuktikan gagunya pemerintah menjawab segala keresahan ini.