Pagi ini saya membuka internet, bukan untuk cari hiburan atau berita politik, tapi untuk satu hal yang cukup jarang disentuh publik hari ini: kabar Gerakan Dakwah Kampus. Saya ingin tahu, apakah geliat itu masih hidup? Atau sudah jadi bagian dari romantisme masa lalu? Dari hasil penelusuran, saya dapati pola baru: dakwah kampus bergerak lebih ramping. Di sebuah kampus negeri pertanian di Jawa Barat, misalnya, formatnya dipecah per fakultas. Ini bukan pembaruan, ini respons atas krisis rekrutmen dan pembinaan. Maka muncullah pendekatan pragmatis: pemberdayaan, praktikum dakwah, dan bentuk lain yang lebih operasional.
Tapi ini tetap kampus negeri. Dan seperti umumnya kampus negeri hari ini: tantangannya besar, lingkungannya makin sekuler. Di Depok, di salah satu universitas terbesar, masjid kampus nyaris tak lagi terdengar denyutnya. Dulu tempat konsolidasi nalar dan iman, kini tak lebih dari ruang ibadah sunyi. Mahasiswa lebih tertarik ke hal-hal yang ‘menjamin masa depan’—magang, portofolio, dan sertifikat. Maka dakwah kampus tergeser, perlahan, bahkan nyaris hilang dari ekosistem kampus.
Yogyakarta sedikit berbeda. UGM—lewat JS-nya—masih memperkuat struktur dan manajemen dakwah kampus. Tapi geliat ini hidup di tengah generasi mahasiswa yang karakternya makin cair, enggan terikat, dan alergi pada pembinaan jangka panjang. Maka pertanyaannya jelas: sekuat apa mereka bisa bertahan di arus zaman yang menormalisasi sikap apatis dan individualistik?
Kampus swasta? Lebih parah. Di tengah banyaknya konten yang berseliweran, saya bahkan tak menemukan satu pun potret utuh tentang aktivitas dakwah mereka hari ini. Apakah mereka masih berkutat pada seminar, pelatihan, atau justru konflik internal yang itu-itu saja? Tak ada yang tahu pasti. Yang jelas, ruang digital tidak memotret secara kongkret keadaan mereka. Dan ini bukan sekadar soal visibilitas—ini soal eksistensi.
Kita perlu bicara apa adanya: gerakan dakwah kampus sedang dalam fase senyap. Ia tidak punah, tapi kehilangan arah. Tidak hilang, tapi tak lagi kuat. Padahal kaum intelektual adalah titik tumpu masa depan umat. Negara-negara besar yang tak kenal agama pun tahu pentingnya kaderisasi intelektual. Cina dan Jepang sadar, pembangunan peradaban butuh fondasi pendidikan yang kuat. Lalu bagaimana dengan kita? Jika umat Islam kehilangan generasi unggul di kampus-kampus, maka tunggu saja: kejayaan akan tinggal narasi nostalgia. Seperti Cordova, yang tumbang bukan karena kehilangan umat, tapi karena kehilangan akal terbaiknya.