KAMMI, Kelelahan, dan Pelukan Pidato “Patah tak tumbuh, hilang tak berganti."

  • Sep 12, 2024
Blog Images

Kepada Kader KAMMI yang kelelahan, malam ini, biarkan saja pidato: Patah Tak Tumbuh, Hilang Tak Berganti punya M. Natsir memeluk kita.

Seharian ini kepala saya sangat panas karena begitu padat kasus bullying yang harus dikawal di Gorontalo. Hingga malam tiba, whatsApp saya masih ramai dalam bahasan itu. Dalam cela kelelahan itulah saya mengistirahatkan sejenak diri yang lemah ini, lalu membuka buku 'Capita Selecta' dan mencari nash pidato M. Natsir berjudul “Patah Tak Tumbuh, Hilang Tak Berganti.”

Dalam batas-batas gelap yang orang-orang mengistirahatkan kelelahan, isi dari pidato M. Natsir sepertinya bisa mengobati kepadatan perjuangan hal-hal baik, terutama kita, kader KAMMI yang memusuhi kebatilan sebagai jalan juang. Pidato ini akan sedikit panjang, tapi jika kelelahan kawan kader begitu menyengat, bacalah sembari meniatkan untuk istirahat dan menambah tenaga untuk berjuang.

“Patah Tak Tumbuh, Hilang Tak Berganti”

Kepada Pemuda Islam!

Saudara,

Beberapa tahun berturut-turut kita dengar Syeikh Ahmad Soorkati Al Anshari Jakarta wafat, Syeikh Abdul Karim Amrullah berpulang ke rahmatullah dalam pembuangannya di Jakarta, disusul oleh Syeikh Muhammad Djamil Djambek Bukit Tinggi. Sesudah beliau, Syeikh Daud Rasjidi di Balingka.

Saat agresi 1 Belanda terjadi, wafat pula Kyai H. m Hasyim Al-Asy'ari Tebuireng. Kyai Abdul Hamid Termas tewas dalam kekacauan Madiun affair. Kyai Syam'un Tangkil berpulang tengah bergerilya menghadapi serangan Belanda agresi ke-2. Kemudian menyusul Kyai Ahmad Sanusi Sukabumi.

Daftar ini masih dapat diperpanjang, dengan nama-nama dari puluhan alim ulama, yang surau dan pesantrennya bertebaran di seluruh Indonesia. Semua mereka telah meninggalkan kita. Dan setiap waktu kita dengar kabar wafatnya seorang dari mereka, kita ucapkan: "innalillahi wa inna ilaihi rojiun." Kemudian masing-masing kita kembali tenggelam dalam pekerjaan sehari-hari.

Tahukah saudara, apakah sesungguhnya yang telah terputus dari kita, dengan berpindahnya mereka ke akhirat? Perhatikan nama-nama mereka. Semuanya berjalin dengan nama daerah dan tempat tinggal, tempat mereka "duduk-mengajar."

Pada hakikatnya mereka lebih dari "mengajar" dan "duduk," dari tempat-tempat yang semacam itu memancar ilmu dan tauhid. Dari sana memancar usaha pencerdasan umat, jauh sebelumnya pemerintah kolonial menyediakan sekolah sekadar untuk orang-orang yangdiperlukan mereka dalam kantor-kantor dan 'onderneming-ondermening' mereka. Dari sana timbul sinar pembela kabut kejahilan, menumbuhkan ruh 'intiqad' dan 'critish zin'.

Tempat-tempat yang semacam itu dengan segala kesederhanaannya membentuk pribadi yang kokoh lahir batin. Tempat rudju' mengembalikan segala macam soal, soal keduniaan dan soal keagamaan. Sumber kekuatan rohaniumat Islam dari masa ke masa, pangkalan perjuangan menghadapi penjajah lahir dan penjajah batin dari abad ke abad.

Mereka melanjutkan perjuangan pangeran Diponegoro, Tengku Imam Bonjol, Teuku Tjik di Tiro, syekh Muhammad Arsyad Banjar, syekh Abdul Somad Palembang, syekh Abdul Wahab Bugis, kyai Haji Ahmad Dahlan Jogja danlain-lain.

Tahan sejenak kawan kader KAMMI. Tarik nafasmu, dan bacalah sekali lagi isi pidato di atas itu, lalu renungkan nama-nama mereka. Jika sudah, mari kita lanjutkan isi pidato selanjutnya.

Pernakah saudara mendengar nama seorang alim muda yang akan menggantikan mereka yang sudah berpulang? Daftar kehilangan tak dapat ditahan, dia akan bertambah panjang dari bulan ke bulan. Tapi nama-nama yang menggantikan belum kunjung terdengar! Entahlah usaha yang mereka lalukan itu di zaman sekarang rupanya "kurang menarik." Yang lebih menarik ialah kantor kedutaan-kedutaan di luar negeri.

Tengoklah KAMMI kita ini, apakah isi pidato M. Natsir yang ditulis berpuluh tahun lalu itu untuk menampar KAMMI dalam kenyataannya hari ini?

Apakah kader KAMMI yang menawarkan Islam sebagai perjuangan, lebih senang dengan tawaran-tawaran duta besar seperti yang M. Natsir katakan dalam pidatonya? Allahu'alam.

Kita lanjutkan isi pidato M. Natsir kawan kader.

Di antara saudara ada banyak yang mempunyai bakat, untuk menjadi pelanjut dari modal warisan yang makin lama makin habis di Indonesia itu. Di sini juga terletak lapangan perjuangan saudara. Lapangan perjuangan yang tak "heroisch" kelihatannya, akan tetapi, yang vital, yang tak dapat diserahkan kepada orang lain. Di sini terletaknya hidup atau padamnya sinar Ilahi di Tanah Air kita.

Kalau patah tak tumbuh, hilang tak berganti dalam sektor ini, jangan terkejut, sebab akan datang suatu masa yang orang Islam di Indonesia menggembar gemborkan berjuang menegakkan kalimah Allah, akan tetapi tak tahu apa sesungguhnya yang diperjuangkan itu!Sebab dadanya sudah kosong dari modal perjuangan asal. Percumalah ia berteriak: “krisis moril merajalela" apabila sumber kekuatan ruhani pribadi ini dibiarkan kering!

Sekarang tengoklah KAMMI kita semua ini, apakah kita sungguh mengenal sebenarnya perjuangan yang kita sebut-sebut dalam kredo gerakan, "atas nama al haq KAMMI bertempur, sampai tidak lagi ada fitnah di muka bumi ini."

Dalam keheningan malam ini, saat mengistirahatkan perjuangan-perjuangan kecil, saya menghibur diri bersama pidato M. Natsir yang ditutup dengan satu potongan ayat:

“Inni khiftul mawa lia min war'i" (Qr. Maryam: 5).

📝 Sanjun. Di dalam pelukan pidato M. Natsir: Patah Tak Tumbuh, Hilang Tak Berganti.